Pelajaran Dari Siwa
Mari kita sedikit melongok ke dalam banyak relung klasik dalam budaya Hindu.Hari ini kita akan menjenguk Siwa. Saya rasa nama ini tidak asing bagi kita, dalam banyak buku pelajaran di negeri ini Siwa sering disalahkaprahkan sebagai Dewa Perusak – pokoknya yang berfungsi sebagai perusak; padahal di sisi lain dalam pewayangan kita di tanah air, Siwa dikenal juga sebagai Bhatara Guru atau Dia yang berfungsi sebagai pendidik untuk mengarahkan para Dewa keluar dari kegelapan batin – ya, di banyak tradisi para Dewa tidak selalu disampaikan sempurna, mungkin karenanya mereka perlu pembimbing, seperti kita manusia. Beberapa sekte dalam Hindu memuja Siwa sebagai Dewa Tertinggi, mereka menyebutnya path to the light – penuntun menuju cahaya.
Lalu bagaimana mungkin Siwa Sang Perusak – dikenal juga sebagai Rudra yang Paling Ditakuti – menjadi guru dari semua guru. Kata Siwa dalam bahasa Sanskerta berasal dari kata Shiv, yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “Kasih”. Dalam banyak kalimat kuno banyak disampaikan, ketika manusia (batin) memasuki kebebasan total, maka ia memasuki sebuah dimensi yang sama sekali berbeda, seakan-akan dia terlahir kembali, ia bukan lagi antara ada dan kasih, namun ialah lautan kasih itu sendiri. Sebelum “tiba” di sana, segala “kotoran batin” mesti hancur, sehingga batin bisa terbebas dari segala yang ia ciptakan dan kasih itu sendiri adalah permulaan dan akhir dari penghancuran itu.
Mengapa lalu takut? Bukankah kita mendambakan kasih yang sejati? Karena manusia terikat akan banyak hal, ikatan menyebabkan emosi melahirkan friksi, sedangkan friksi adalah awal dari kekerasan dalam hidup ini. Kita berteriak bahwa kasih itu mesti membebaskan, tapi kita selalu mengikatnya dengan banyak hal, dan kita takut kehilangan ikatan-ikatan ini.
Siwa adalah simbolisasi (jika boleh dikatakan demikian) dari kasih yang menghancurkan setiap keterikatan ini, dan ketika kekuatan maha dahsyat seperti ini bergerak maka tidak ada yang tidak hancur di sepanjang jalannya, setiap ego akan runtuh dengan sendirinya.
Namun, entah saya memandang lucu atau bagaimana (maaf), orang kemudian memuja Siwa dan berharap agar Beliau duduk tenang di puncak Kailash dan tidak membawa kehancuran bagi dunia. Ego mesti hancur, jika tidak orang tidak akan pernah bisa memahami apa itu kasih apa itu cinta. Sang Aku aku mesti mati sehingga pembebasan itu lahir dengan alaminya. Cinta itu adalah pembesan yang sejati, dan kebebasan yang sejati itulah cinta. Cinta dan kebebasan dua hal yang satu, dan itu berarti segalanya tidak apa-apa, kosong, tanpa aku, tanpa ego, tanpa kegelapan, namun kosong itulah segala esensi kehidupan.
Siwa dikatakan sebagai contoh ketenangan yang paling sempurna – ini menurut Purana, mengapa? Lihat saja keluarga besar Siwa, yang mungkin aneh bagi banyak orang. Di lengan Siwa ada ular yang melilit, demikian juga di leher, kepala dan pinggang-Nya, sementara salah satu putra Siwa, Dewa Kumara (di Bali dikenal sebagai Rare Kumara atau Dewa pelindung bayi, balita dan anak-anak) mengendarai Merak, dan kepercayaan kuno mengatakan Merak biasanya menyerang ular jika mereka bertemu. Paramadewa Ganesha (Dewa teragung Ganesha) yang diceritakan bereinkarnasi sebagai Putra Siwa berkepala Gajah yang tentunya bisa membangkitkan selera makan Singa yang menjadi kendaraan Dewi Durga (Pendamping Siwa – Ibu Alam Semesta) yang juga terlukiskan tidak terpisah dari Siwa dan merupakan separuh bagian kiri Siwa. Sedangkan singa sendiri biasanya tidak bersahabat dengan Lembu/Sapi Jantan yang menjadi kendaraan Siwa. Di dahi Siwa memancarkan api, sementara dari ubun-ubun-Nya memancar air yang dipercaya sebagai sumber Gangga (Ibu dari semua Sungai). Segala sesuatunya di Kailash sana tergambarkan saling bertentangan.
Namun segala yang ada di Kailash dalam pertentangan itu justru hidup secara harmonis. Keharmonisan itu berawal dari Siwa – dari Kasih dan berakhir pada lahirnya Kasih.
Kembali ke awal, saya rasa orang di Bali begitu takut dengan adanya paid bangkung, sering berkonflik dalam pernikahan antara kasta, dan lain sebagainya. Mengapa kita takut akan hal itu, mengapa kita khawatir, karena kita ragu akan terjadinya perubahan, karena perubahan menghantarkan kita pada ketidakpastian, dan ketidakpastian adalah hal yang paling mengerikan bagi orang yang terikat pada keterkondisiannya. Ya, kita orang buta akan keterikatan kita sendiri.
Ketika bertemu rupang Siwa, apakah Anda akan berkata, “Oh Siwa yang Agung, terimalah sembah sujud hamba yang hina ini, dan terimalah persembahan yang tidak berarti ini, mohon hindari kami dari bencana, berilah kemurahan hati-Mu, dan berkahilah kami.” Ketakutan bersumber dari batin yang terikat dan terkondisi, batin yang seperti ini tidak bebas, tidak mengenal cinta, apa pun yang terlahir darinya selalu terbatas dan tidak murni, bahkan untuk sebuah doa.
Siwa mesti menari – Siwa Nataraja – Kasih adalah tarian kehidupan yang paling indah, karena ia merupakan esensi kebebasan yang sejati. Namun di sisi lain sangat berbahaya dan ditakuti, karena ia menghancurkan setiap keterkondisian setiap ikatan akan berbagai kepercayaan dan ide yang dilahirkan batin, ia akan menyapu bersih batin dari apa yang diciptakan oleh batin itu sendiri. Jika batin telah kosong dari segala yang ia ciptakan, maka di situ ada keheningan yang luar biasa, sebuah dimensi yang tak terwakilkan oleh kata-kata. Jika ada kata yang sering digunakan untuk menggambarkannya, para guru berkata itulah Kasih, itulah Shiva, jika engkau bisa mencapai itu, itulah Aham Brahman Asmi (Akulah Brahman), itulah Tat Twam Asi (Akulah Itu). Ketika para guru berkata, Brahman tidak berawal tidak berakhir, maka Shiva adalah awal dan juga sekaligus akhir dari semuanya, dua hal yang sama terucap dengan cara yang berbeda. Namun perbedaan itu tidak berarti, karena dualitas berakhir di situ.
Ketika Buddha berkata bahwa di setiap diri manusia ada benih ke-Buddha-an, maka sama halnya dengan Shiva, ada sinar suci-Nya di dalam setiap manusia. Semuanya sekadar metafora sedemikian hingga tidak akan tampak rumit bagi kita. Buddha tidak datang dan membuat kita secara ajaib menjadi Bodhisatta, demikian pula Shiva tidak menyihir orang, namun jika orang bersedia belajar dalam makna yang sesungguhnya, mungkin ialah Siwa Raditya, yang selalu bersinar dan tiada lagi kegelapan akan berbagai hal ke mana pun ia memandang.
So when you met Shiva, what would you say, “Oh Lord, please stay still in Kailash, let be peace upon all of us” or kind of “So shall we dance?”
Adaptasi dari Chinna Katha III-1
Copyright secured by Digiprove © 2010 Cahya Legawa
Diambil dari: Pelajaran Dari Siwa oleh Cahya.
No comments:
Post a Comment