Selamat Datang DI WWW.WACANADHARMA.BLOGSPOT.COM

Thursday, October 28, 2010

pelajaran dari siwa

Pelajaran Dari Siwa

­   Mari kita sedikit melongok ke dalam banyak relung klasik dalam budaya Hindu.

Hari ini kita akan men­jenguk Siwa. Saya rasa nama ini tidak asing bagi kita, dalam banyak buku pelajaran di negeri ini Siwa sering disalah­kap­rahkan seba­gai Dewa Per­usak – pokok­nya yang ber­fungsi seba­gai per­usak; padahal di sisi lain dalam pewayangan kita di tanah air, Siwa dikenal juga seba­gai Bhatara Guru atau Dia yang ber­fungsi seba­gai pen­didik untuk meng­arahkan para Dewa keluar dari kegelapan batin – ya, di banyak tradisi para Dewa tidak selalu disam­paikan sem­purna, mung­kin karenanya mereka perlu pem­bim­bing, seperti kita manusia. Beberapa sekte dalam Hindu memuja Siwa seba­gai Dewa Ter­tinggi, mereka menyebut­nya path to the light – penun­tun menuju cahaya.
Lalu bagaimana mung­kin Siwa Sang Per­usak – dikenal juga seba­gai Rudra yang Paling Ditakuti – men­jadi guru dari semua guru. Kata Siwa dalam bahasa Sans­kerta ber­asal dari kata Shiv, yang secara har­fiah diter­jemahkan seba­gai “Kasih”. Dalam banyak kalimat kuno banyak disam­paikan, ketika manusia (batin) memasuki kebebasan total, maka ia memasuki sebuah dimensi yang sama sekali ber­beda, seakan-akan dia ter­lahir kem­bali, ia bukan lagi antara ada dan kasih, namun ialah lautan kasih itu sen­diri. Sebelum “tiba” di sana, segala “kotoran batin” mesti han­cur, sehingga batin bisa ter­bebas dari segala yang ia cip­takan dan kasih itu sen­diri adalah per­mulaan dan akhir dari peng­han­curan itu.
Meng­apa lalu takut? Bukan­kah kita men­dam­bakan kasih yang sejati? Karena manusia ter­ikat akan banyak hal, ikatan menyebabkan emosi melahirkan friksi, sedangkan friksi adalah awal dari kekerasan dalam hidup ini. Kita ber­teriak bahwa kasih itu mesti mem­bebaskan, tapi kita selalu meng­ikat­nya dengan banyak hal, dan kita takut kehilangan ikatan-ikatan ini.
Siwa adalah sim­bolisasi (jika boleh dikatakan demikian) dari kasih yang meng­han­curkan setiap keterikatan ini, dan ketika kekuatan maha dahsyat seperti ini ber­gerak maka tidak ada yang tidak han­cur di sepan­jang jalan­nya, setiap ego akan run­tuh dengan sendirinya.
Namun, entah saya meman­dang lucu atau bagaimana (maaf), orang kemudian memuja Siwa dan ber­harap agar Beliau duduk tenang di pun­cak Kailash dan tidak mem­bawa kehan­curan bagi dunia. Ego mesti han­cur, jika tidak orang tidak akan per­nah bisa memahami apa itu kasih apa itu cinta. Sang Aku aku mesti mati sehingga pem­bebasan itu lahir dengan alaminya. Cinta itu adalah pem­besan yang sejati, dan kebebasan yang sejati itulah cinta. Cinta dan kebebasan dua hal yang satu, dan itu ber­arti segalanya tidak apa-apa, kosong, tanpa aku, tanpa ego, tanpa kegelapan, namun kosong itulah segala esensi kehidupan.
Siwa dikatakan seba­gai con­toh ketenangan yang paling sem­purna – ini menurut Purana, meng­apa? Lihat saja keluarga besar Siwa, yang mung­kin aneh bagi banyak orang. Di lengan Siwa ada ular yang melilit, demikian juga di leher, kepala dan pinggang-Nya, semen­tara salah satu putra Siwa, Dewa Kumara (di Bali dikenal seba­gai Rare Kumara atau Dewa pelin­dung bayi, balita dan anak-anak) meng­en­darai Merak, dan keper­cayaan kuno meng­atakan Merak biasanya menyerang ular jika mereka ber­temu. Paramadewa Ganesha (Dewa ter­agung Ganesha) yang diceritakan ber­ein­kar­nasi seba­gai Putra Siwa ber­kepala Gajah yang ten­tunya bisa mem­bang­kitkan selera makan Singa yang men­jadi ken­daraan Dewi Durga (Pen­dam­ping Siwa – Ibu Alam Semesta) yang juga ter­lukiskan tidak ter­pisah dari Siwa dan merupakan separuh bagian kiri Siwa. Sedangkan singa sen­diri biasanya tidak ber­sahabat dengan Lembu/Sapi Jantan yang men­jadi ken­daraan Siwa. Di dahi Siwa meman­carkan api, semen­tara dari ubun-ubun-Nya meman­car air yang diper­caya seba­gai sum­ber Gangga (Ibu dari semua Sungai). Segala sesuatunya di Kailash sana ter­gam­barkan saling bertentangan.
Namun segala yang ada di Kailash dalam per­ten­tangan itu jus­tru hidup secara har­monis. Kehar­monisan itu ber­awal dari Siwa – dari Kasih dan ber­akhir pada lahir­nya Kasih.
Kem­bali ke awal, saya rasa orang di Bali begitu takut dengan adanya paid bang­kung, sering ber­kon­flik dalam per­nikahan antara kasta, dan lain seba­gainya. Meng­apa kita takut akan hal itu, meng­apa kita khawatir, karena kita ragu akan ter­jadinya per­ubahan, karena per­ubahan meng­han­tarkan kita pada ketidakpas­tian, dan ketidakpas­tian adalah hal yang paling meng­erikan bagi orang yang ter­ikat pada keter­kon­disian­nya. Ya, kita orang buta akan keterikatan kita sendiri.
Ketika ber­temu rupang Siwa, apakah Anda akan ber­kata, “Oh Siwa yang Agung, ter­imalah sem­bah sujud hamba yang hina ini, dan ter­imalah per­sem­bahan yang tidak ber­arti ini, mohon hin­dari kami dari ben­cana, ber­ilah kemurahan hati-Mu, dan ber­kahilah kami.” Ketakutan ber­sum­ber dari batin yang ter­ikat dan ter­kon­disi, batin yang seperti ini tidak bebas, tidak mengenal cinta, apa pun yang ter­lahir darinya selalu ter­batas dan tidak murni, bahkan untuk sebuah doa.
Siwa mesti menari – Siwa Nataraja – Kasih adalah tarian kehidupan yang paling indah, karena ia merupakan esensi kebebasan yang sejati. Namun di sisi lain sangat ber­bahaya dan ditakuti, karena ia meng­han­curkan setiap keter­kon­disian setiap ikatan akan ber­ba­gai keper­cayaan dan ide yang dilahirkan batin, ia akan menyapu ber­sih batin dari apa yang dicip­takan oleh batin itu sen­diri. Jika batin telah kosong dari segala yang ia cip­takan, maka di situ ada keheningan yang luar biasa, sebuah dimensi yang tak ter­wakilkan oleh kata-kata. Jika ada kata yang sering digunakan untuk meng­gam­bar­kan­nya, para guru ber­kata itulah Kasih, itulah Shiva, jika eng­kau bisa men­capai itu, itulah Aham Brahman Asmi (Akulah Brahman), itulah Tat Twam Asi (Akulah Itu). Ketika para guru ber­kata, Brahman tidak ber­awal tidak ber­akhir, maka Shiva adalah awal dan juga sekaligus akhir dari semuanya, dua hal yang sama ter­ucap dengan cara yang ber­beda. Namun per­bedaan itu tidak ber­arti, karena dualitas ber­akhir di situ.
Ketika Buddha ber­kata bahwa di setiap diri manusia ada benih ke-Buddha-an, maka sama hal­nya dengan Shiva, ada sinar suci-Nya di dalam setiap manusia. Semuanya sekadar metafora sedemikian hingga tidak akan tam­pak rumit bagi kita. Buddha tidak datang dan mem­buat kita secara ajaib men­jadi Bodhisatta, demikian pula Shiva tidak menyihir orang, namun jika orang ber­sedia belajar dalam makna yang sesung­guh­nya, mung­kin ialah Siwa Raditya, yang selalu ber­sinar dan tiada lagi kegelapan akan ber­ba­gai hal ke mana pun ia memandang.
So when you met Shiva, what would you say, “Oh Lord, please stay still in Kailash, let be peace upon all of us” or kind of “So shall we dance?
Adap­tasi dari Chinna Katha III-1
  Copyright secured by Digip­rove © 2010 Cahya Legawa
Anda diizinkan untuk berbagi (menyalin, mendistribusikan, mengubah bentuk) & mengadaptasi artikel blog ini baik sebagian atau pun keseluruhannya di bawah penggunaan lisensi yang sama (CCA-NC-SA 3.0 Unported) kecuali dinyatakan sebaliknya atau berbeda oleh penulis. Anda diwajibkan menyertakan sumber asli pada salinan dan adaptasi yang Anda karyakan berupa pranala berikut:
Diambil dari: Pelajaran Dari Siwa oleh Cahya.

No comments:

Post a Comment